REVIEW JURNAL
BEBERAPA PEMBAGIAN
FASIES GUNUNG API AND APLIKASINYA
Secara bentang alam,
gunung api yang berbentuk kerucut terbagii daerah puncak, lereng, kaki, dan
dataran di sekelilingnya kemudian dikembangkan oleh Williams dan McBirney
(1979) untuk membagi sebuah kerucut gunung api komposit menjadi 3 zone yaitu Central
Zone, Proximal Zone, dan Distal Zone. Central Zone disetarakan dengan daerah
puncak kerucut gunung api, Proximal Zone sebanding dengan daerah lereng gunung
api, dan Distal Zone sama dengan daerah kaki serta dataran di sekeliling gunung
api. Namun dalam uraiannya, kedua penulis tersebut sering menyebut zone dengan
facies, sehingga menjadi Central Facies, Proximal Facies, dan Distal Facies.
Pembagian fasies gunung api tersebut dikembangkan oleh Vessel dan Davies (1981)
serta Bogie dan Mackenzie (1998) menjadi empat kelompok, Fasies gunung api dan
aplikasinya (S. Bronto) 61 yaitu Central/Vent Facies, Proximal Facies, Medial
Facies, dan Distal Facies (Gambar 1). Sesuai dengan batasan fasies gunung api,
yakni sejumlah ciri litologi (fi sika dan kimia) batuan gunung api pada suatu
lokasi tertentu, beberapa fasies gunung api tersebut dapat diidentifi kasi
berdasarkan data:
1. inderaja dan
geomorfologi
2. stratigrafi batuan
gunung api
3. vulkanologi fisik
4. struktur geologi,
serta 5. petrologi-geokimia.
IDENTIFIKASI
BERDASARKAN STRATIGRAFI BATUAN GUNUNG API
Fasies sentral
merupakan keluarnya magma dari dalam
bumi ke permukaan. Oleh sebab itu daerah ini dicirikan oleh asosiasi batuan
beku yang berupa kubah lava dan berbagai macam batuan terobosan semi gunung api
(subvolcanic intrusions) seperti halnya leher gunung api (volcanic necks),
sill, retas, dan kubah bawah permukaan (cryptodomes). Batuan terobosan dangkal
tersebut dapat ditemukan pada dinding kawah atau kaldera gunung api masa kini,
atau pada gunung api purba yang sudah tererosi lanjut. Selain itu, karena
daerah bukaan mulai dari conduit atau diatrema sampai dengan kawah merupakan
lokasi terbentuknya fl uida hidrotermal, maka hal itu mengakibatkan
terbentuknya batuan ubahan atau bahkan mineralisasi. Apabila erosi di fasies
sentral ini sangat lanjut, batuan tua yang mendasari batuan gunung api juga
dapat tersingkap. Fasies proksimal merupakan kawasan gunung api yang paling
dekat dengan lokasi sumber atau fasies pusat. Asosiasi batuan pada kerucut
gunung api komposit sangat didominasi oleh perselingan aliran lava dengan breksi
piroklastika dan aglomeratKelompok batuan ini sangat resistan, sehingga
biasanya membentuk timbulan tertinggi pada gunung api purba. Pada fasies
medial, karena
sudah lebih menjauhi
lokasi sumber, aliran lava dan aglomerat sudah berkurang, tetapi breksi
piroklastika dan tuf sangat dominan, dan breksi lahar juga sudah mulai
berkembang. Sebagai daerah pengendapan terjauh dari sumber, fasies
distal didominasi oleh
endapan rombakan gunung api seperti halnya breksi lahar, breksi fluviatil,
konglomerat, batupasir, dan batulanau. Endapan primer gunung api di fasies ini
umumnya berupa tuf. Ciri-ciri litologi secara umum tersebut tentunya ada
kekecualian apabila terjadi letusan besar sehingga menghasilkan endapan aliran
piroklastika atau endapan longsoran gunung api yang melampar jauh dari
sumbernya. Pada pulau gunung api ataupun gunung api bawah laut, di dalam fasies
distal ini batuan gunung api dapat berselang-seling dengan batuan nongunung
api, seperti halnya batuan karbonat. Dari pengamatan di lapangan daerah
Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Wonogiri, fasies medial dan fasies distal
gunung api purba (Tersier) sudah tertutup oleh batuan karbonat.
IDENTIFIKASI
BERDASARKAN VULKANOLOGI FISIK
Secara sedimentologi
atau vulkanologi fi sik, mulai dari fasies proksimal sampai fasies distal dapat
dirunut perubahan secara bertahap mengenai tekstur dan struktur sedimen.
Tekstur batuan klastika gunung api menyangkut bentuk butir, ukuran butir, dan
kemas. Karena efek abrasi selama proses transportasi maka dari fasies proksimal
ke fasies distal bentuk butir berubah mulai dari sangat meruncing - Gambar 7.
Perlapisan aliran lava dan breksi gunung api Kuarter pada fasies proksimal
Gunung Galunggung, Tasikmalaya-Jawa Barat. Perhatikan bahwa tebal perlapisan
sangat beragam dan sebaran lateralnya juga tidak selalu menerus, seperti halnya
terjadi pada perlapisan kue lapis (layered cake geology). Fasies sentral di
sebelah kiri dan fasies medial di sebelah kanan gambar. Perlapisan juga
membentuk kemiringan awal (initial dips). Gambar 8. Perlapisan aliran lava
sebagai bagian dari fasies proksimal gunung api Tersier di Kali Ngalang, Gunungkidul
– Yogyakarta. 64 Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 2 Juni 2006: 59-71
meruncing sampai membundar - sangat membundar. Ukuran butir juga berubah dari
fraksi sangat kasar - kasar, sedang sampai dengan halus - sangat halus.
Hubungan antara butir fraksi kasar di daerah fasies proksimal pada umumnya
membentuk kemas tertutup, tetapi kemudian berubah menjadi kemas terbuka di
fasies medial sampai distal. Struktur sedimen, seperti struktur imbrikasi,
silangsiur, antidunes, dan gores-garis sebagai akibat terlanda seruakan
piroklastika (pyroclastic surges) juga dapat membantu menentukan arah sumber
dan sedimentasi. Secara geometri, struktur aliran piroklastika, aliran lahar
serta aliran lava dapat juga mendukung penentuan arah sumber erupsi. Dari
pengukuran aliran lava berstruktur bantal (Gambar 9) di Watuadeg, diketahui
sumber erupsinya terletak lk. 200 m di sebelah barat Kali Opak (Bronto &
Mulyaningsih, 2001). Endapan aliran gravitasi tersebut biasanya mengalir
mengikuti lembah sungai lama, mulai dari daerah puncak sampai lereng bawah,
sementara itu dari kaki hingga dataran endapan tersebut dapat menyebar
membentuk kipas. Struktur bomb sag sebagai
akibat lontaran
balistik bom gunung api dan jatuh menyudut (miring) terhadap permukaan tanah
pada waktu terjadi letusan dapat juga membantu menentukan arah sumber letusan.
APLIKASI DI BIDANG
MINERAL
Penelitian fasies
gunung api dapat dimanfaatkan untuk pencarian sumber baru mineralisasi logam
sulfi da berdasarkan konsep pusat erupsi gunung api sebagai strategi untuk
penelitian emas (Volcanic Center Concept for Gold Exploration Strategy, Bronto
& Hartono, 2003; Bronto, 2003b). Interaksi antara gas asam, unsur logam,
dan pancaran panas dari magma dengan air meteorik di dalam konduit gunung api
membentuk fl uida hidrotermal yang pada akhirnya menghasilkan batuan ubahan dan
mineralisasi. Konduit atau istilah lain diatrema, vent dan korok gunung api
terletak di bawah kawah dan di atas dapur magma. Ini berarti bahwa endapan
mineralisasi terdapat di dalam fasies pusat gunung api. Oleh sebab itu dalam
rangka pencarian sumber baru mineralisasi maka sebagai langkah pertama adalah
dengan mencari fasies pusat gunung api purba. Tindakan ini sudah penulis
laksanakan sehingga berhasil menemukan sumber baru mineralisasi di daerah
Cupunagara, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat (Bronto drr., 2004c). Apabila
dicermati, hampir seluruh kawasan pertambangan emas dan logam sulfi da lainnya
terletak di dalam fasies pusat gunung api, mulai dari Grasberg di Papua (e.g.
Coutts drr., 1999), Totopo Barat di Sulawesi Utara (Santos drr., 1999), Kelian
di Kalimantan (e.g. Davies drr., 1999) dan Pongkor di Jawa Barat (e.g. Milesi
drr., 1999; Hartono & Bronto, 2005). Permasalahan umum adalah para peneliti
biasanya kurang tertarik untuk mendalami lingkungan geologi gunung api dalam
kaitannya dengan pembentukan cebakan emas. Lebih lanjut berdasarkan analisis
radiometri, batuan gunung api pada suatu kawasan mempunyai umur yang
berbeda-beda. Sebagai contoh batuan gunung api di daerah Bayah, Formasi Cikotok
berumur Paleogen, Tuf Citorek berumur Neogen dan di sekelilingnya terdapat
batuan gunung api Kuarter (Sujatmiko & Santosa, 1992). Di daerah Cupunagara
batuan gunung api ditemukan mulai dari umur 59 juta tahun yang lalu sampai
dengan 1,4 juta tahun yang lalu (Bronto drr., 2004c; Utoyo drr., 2004). Di
Pegunungan Kulon Progo batuan gunung api berumur 76 juta tahun yang lalu hingga
12 juta tahun yang lalu (Ngkoimani, 2005; Soeria-Atmadja drr., 1994; Akmaluddin
drr., 2005). Di daerah Pacitan batuan gunung api berumur 42,7 juta tahun yang
lalu sampai dengan 8,94 juta tahun yang lalu (Soeria-Atmadja drr., 1994). Data
tersebut menunjukkan bahwa magmatisme dan vulkanisme terjadi berulang-ulang,
dan tidak menutup kemungkinan hal itu juga diikuti oleh proses alterasi
hidrotermal serta mineralisasi. Apabila hal itu benar maka diperkirakan
pengkayaan mineralisasi dapat terjadi di daerah tersebut.
APLIKASI DI BIDANG
LINGKUNGAN DAN KEBENCANAAN
Kawasan gunung api,
yang pada umumnya berupa daerah tinggian, merupakan daerah tangkapan sekaligus
resapan air hujan yang sangat baik. Dalam rangka pengelolaan sumber daya air
tanah perlu diketahui karakter aliran air bawah permukaan yang dimulai dari
fasies sentral dan fasies proksimal menuju ke fasies medial dan fasies distal.
Di sinilah perlunya melakukan penelitian, identifi kasi dan pemetaan terhadap
wilayah yang termasuk di dalam fasies gunung api tersebut. Wilayah fasies
sentral dan proksimal seyogyanya dilestarikan sebagai daerah tangkapan dan
resapan air hujan, sedangkan pemanfaatan air tanah dilakukan di fasies medial
atau bahkan di fasies distal. Dalam rangka pembangunan pemukiman di kawasan
Dago Pakar pada awal tahun 1980-an dilakukan penelitian geohidrologi di daerah
Bandung Utara (Hartono, 1980). Berdasarkan bentuk bentang alam dan prinsip
stratigrafi kue lapis air hujan yang jatuh di kawasan Dago Pakar yang tersusun
oleh batuan gunung api Formasi Cikapundung akan meresap dan mengalir mengikuti
bidang perlapisan dengan kemiringan sekitar 20o ke selatan (Sampurno, 1981).
Air hujan tersebut akan membentuk air tanah dalam (kedalaman > 200 m) di
bawah dataran Bandung. Dengan demikian pembangunan pemukiman di kawasan Dago
Pakar tidak akan berpengaruh terhadap suplai air permukaan dan air tanah
dangkal di dataran Bandung.
Komentar
Posting Komentar